Pernahkah kita dipusingkan oleh tingkah laku teman-teman yang buruk, namun ketika kita hendak menasihati, mereka justru melarikan diri? Sebagai remaja muslim kita mesti berupaya keras untuk menolong teman-teman atau orang lainnya agar mau memperbaiki diri dan mengembalikan kesadaran keagamaan mereka tanpa harus mencela secara literal dengan penuh arogansi.
Sebagai orang yang dekat dengan mereka, sejatinya kita tidak menemui kesulitan untuk memberikan nasihat. Karena nasihat terbaik adalah yang disampaikan oleh orang-orang yang kita kenal dan kita cintai. Anjuran dan nasihat baik dari kerabat atau teman dekat akan lebih diapresiasi ketimbang nasihat yang disampaikan seseorang yang baru saja kita temui di masjid atau tempat lainnya.
Meski demikian, jangan terlalu gegabah mengkritisi dan menasihati orang lain atas hal-hal yang masih ditolerir secara syariat. Terkadang para remaja terlalu bersemangat dan tendensius untuk melakukan sejumlah tindakan tegas atas hal-hal yang sejatinya tidak memicu dosa. Seperti hal-hal yang menjadi objek perbedaan pendapat para ulama dan aliran-aliran fikih Islam. Hal-hal seperti memberi tahu seorang muslimah untuk mengenakan niqab secara sarkastik atau merendahkan para ikhwan yang tidak memiliki jenggot, adalah sesuatu yang tidak berdasar. Atau menghina muslim lainnya hanya karena telunjuknya bergoyang-goyang ketika duduk tahiyyat.
Karena tidak setiap orang bisa menumbuhkan jenggot, dan tak jarang kita melihat para ikhwan yang berusaha keras untuk menumbuhkan jenggot. Biasanya, jika kita melihat seseorang shalat dengan cara yang belum pernah kita lihat, maka kita mengira bahwa ada sesuatu yang tidak kita ketahui dari fikih shalat, atau mungkin dia shalat berdasarkan mazhab fikih yang lain.
Demikianlah, terkadang tabiat manusia menginstruksikan untuk mengkritisi hal-hal kecil yang tidak penting. Padahal yang seharusnya dilakukan adalah fokus terhadap hal-hal penting semisal pembenahan akidah, memotivasi orang untuk melakukan shalat yang menjadi pembatas antara keimanan dan kekafiran, atau mencoba menjadikan masjid sebagai area shalat berjamaah, dan yang lainnya.
Salah satu dosa terselubung adalah kemunafikan. Sebelum kita menceramahi seseorang atas tindakan-tindakan yang mereka lakukan, maka pastikan orang tersebut tidak menyerang balik kita terkait dosa-dosa dan kekeliruan yang kita lakukan. Sebagian orang terkadang mengkritisi para muslimah yang tidak menjaga perilaku mereka, sehingga merusak citra baik muslimah, namun di saat yang bersamaan mereka melakukan ghibah atau memperlakukan saudara-saudara mereka dengan kejam. Atau misalkan seseorang mengkritisi bahwa sebuah masjid tertentu tidak memiliki akidah yang lurus, namun dia tidak pernah sekalipun shalat berjamaah di masjid atau melakukan pendekatan persuasif kepada pengurus masjid. Padahal kita adalah cermin bagi orang lain. Kelemahan yang kita dapatkan pada orang lain juga merefleksikan potensi kelemahan yang ada pada diri kita.
Mungkin kita sering memberikan nasihat kepada orang lain, kepada anak-anak, saudara atau kepada siapa saja untuk mengerjakan sebuah kebaikan atau agar meninggalkan sebuah perbuatan yang kita anggap tidak bermanfaat. Tapi pernahkah kita berpikir sudahkah kita memberikan contoh kepada mereka? Jika kalian adalah seorang kakak yang mendapati adiknya merokok, lantas kalian ingin melarangnya, tapi coba lihat, apakah kalian sendiri tidak merokok? Atau kalau kita menyuruh anak-anak untuk rajin belajar, sudahkah kita mendampingi mereka? Atau kita sendiri malah asyik menonton sinetron? Kalau kita menyuruh orang lain untuk taat dan menjadi orang yang shaleh. Sudahkah kita sendiri jadi orang yang shaleh?
Kemudian, privasi dan etika merupakan dua hal penting ketika kita melakukan pendekatan kepada orang lain untuk menyampaikan nasihat. Persoalan yang sering terjadi adalah kita ‘memperbaiki’ seorang teman dengan menghakiminya di depan khalayak ramai dengan suara lantang, tanpa menyadari bahwa hal tersebut sangat melukainya. Ya, kita menyadari bahwa teman kita berperangai buruk, tapi itu tidak berarti kita menceramahi dan memarahinya di depan umum, apalagi mencari-cari kesalahannya. Karena salah satu bagian menjadi seorang mukmin adalah tidak mencari-cari kesalahan orang lain. Tapi ketika kita tahu si fulan salah, maka jangan menguak kesalahannya di depan orang banyak.
Kendati demikian, ketika kalian berpikiran bahwa kalian harus memberitahu seseorang tentang tindakan-tindakannya yang dilarang dalam agama, maka jangan pernah ragu untuk menyampaikan nasihat kepadanya. Karena perbuatan-perbuatannya yang melanggar batas-batas agama berpotensi membuat dirinya berada dalam bahaya baik secara duniawi maupun akhirat.
Memang sulit untuk menasihati seseorang yang kita cintai mengenai perilaku destruktifnya. Terlebih lagi jika kita mengetahui bahwa orang tersebut akan membantah dan menyerang balik. Tapi tetap, beritahu bahwa dirinya berada dalam bahaya jika –misalkan— terus-terusan berduaan dengan pacarnya, karena perbuatannya bisa kebablasan dan menyebabkan si perempuan hamil di luar nikah, atau lain sebagainya. Kebanyakan orang, ketika dinasihati, mereka lebih memilih untuk melarikan diri dan menghindar.
Dengan demikian, yang tak kalah pentingnya, sampaikanlah nasihat dengan bahasa persuasif yang tidak membuat marah orang yang dinasihati. Rasulullah SAW ketika menyampaikan nasihat senantiasa memilih kata-kata yang tepat lafadz yang indah mengena di hati dan menancap dengan dalam. Beliau tidak menyampaikan nasihat dengan kalimat yang panjang lagi bertele-tele namun cukup dengan kalimat yg ringkas namun mencakup dan dimengerti. Karena itulah beliau dikenal oleh para sahabat sebagai orang yang memiliki jawami` al-kalim.
KIAT SUKSES MENYAMPAIKAN NASIHAT
Dalam salah satu artikelnya, Muhammad Nur Ichwan Muslim menyatakan bahwa secara garis besar, agar nasihat bisa disampaikan dengan sukses, maka harus memperhatikan beberapa kriteria berikut:
1. Topik yang sesuai
Nasihat haruslah disampaikan dengan memperhatikan topik yang dibutuhkan oleh para pendengar. Jangan sampai anda memberikan nasihat dengan topik yang tidak mereka butuhkan.
Sebagai contoh, apabila anda melihat mayoritas manusia lebih memprioritaskan kehidupan dunia daripada mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat, maka topik yang seharusnya disampaikan adalah menghasung mereka untuk cinta kepada akhirat dan berlaku zuhud (tidak tamak) terhadap dunia.
Namun, jika seorang menasihati mereka untuk tidak berlebih-lebihan dalam beribadah, sementara mereka belum mampu untuk melaksanakan berbagai ajaran agama yang sifatnya wajib, maka topik nasihat yang disampaikan pada saat itu tidaklah tepat, karena unsur hikmah dalam memilih topik kurang diperhatikan.
2. Bahasa yang fasih dan terstruktur
Kefasihan sangat dituntut dalam nasihat yang hendak disampaikan. Para sahabat pernah mengatakan, “Selepas shalat Subuh, Rasulullah SAW pernah memberikan nasihat yang sangat menyentuh, hati kami bergetar dan air mata pun berlinang.” (HR. At-Tirmidzi: 2676. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykat Al-Mashabih: 165)
Maka seorang pemberi nasihat hendaknya menyampaikan nasihat dengan lafadz yang terbaik, yang paling mampu menyentuh jiwa para pendengar, sehingga mereka pun tertarik untuk mendengarnya.
3. Waktu dan kondisi yang tepat
Waktu yang tepat juga turut berpengaruh. Seorang pemberi nasihat hendaknya memilih momen yang tepat untuk menyampaikan nasihatnya. Di hadits sebelumnya, kita bisa memperhatikan bahwa Nabi menyampaikan petuah kepada para sahabatnya di waktu Subuh. Pada waktu tersebut, tubuh sedang berada dalam kondisi puncak, setelah di waktu malam beristirahat. Demikian pula, pada waktu tersebut, pikiran masih jernih, belum terbebani. Maka seorang pemberi nasihat harus mampu memperhatikan kondisi orang yang hendak dinasihati, apakah pada saat itu dia siap menerima nasihat ataukah tidak.
4. Jangan bertele-tele
Nasihat juga janganlah bertele-tele dan panjang sehingga membosankan. Abu Wail pernah mengatakan, “Ammar pernah menyampaikan khutbah kepada kami secara ringkas namun mengena. Ketika selesai, maka kami mengatakan kepadanya, “Alangkah baiknya jika engkau memperpanjang khutbah” Maka dia menjawab, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya panjangnya shalat seorang dan pendeknya khutbah yang disampaikan olehnya merupakan tanda akan kefakihan dirinya. Maka hendaklah kalian memperpanjang shalat dan memperpendak khutbah.” (HR. Muslim)
Nabi SAW memberikan tuntunan kepada umatnya untuk tidak bertele-tele dan berlama-lama dalam menyampaikan nasihat karena hal itu akan menyebabkan pendengar bosan.
Demikianlah, Islam memerintahkan pemeluknya untuk menggalakkan budaya nasihat. Nasihat akan memperbaiki kepribadian seorang yang dahulunya buruk. Nasihat pulalah yang mampu menciptakan persaudaraan yang sejati. Namun, kesemuanya itu barulah dapat terwujud apabila nasihat yang disampaikan dapat membekas dan meresap di dalam jiwa. [ganna pryadha/voa-islam.com]
0 comments: